Rabu, 17 Juli 2019

Namaku Iwan

Dari tahun 1993, atau mulai kelas 1 SD, sampai tahun 2017, teman-temanku di sekolah sampai kuliah hanya memanggilku satu nama : Ridwan. Berasal dari nama panjang Ridwan Hidayat. Beda dengan ke dua adik saya. Teman-temannya tetap memanggil nama panggilan rumah meski punya nama panjang yang berbeda dengan nama panggilan. Yang kedua bernama Fitrika Hidayanti dipanggil pipit. Ketiga bernama Riski Amalia Sari dipanggil kiki. Meski masih banyak juga temannya yang masih memanggil nama panjang.

Dua puluhan tahun lamanya, nama panggil iwan hanya dipakai oleh orang rumah, keluarga, atau tetangga di masa kecil. Mulai masuk sekolah dasar, rupanya saya kalah untuk bisa melakukan branding nama iwan. Bikin akun social media tetap pakai nama panjang. Ada yang membukukan tulisan saya, juga belum berani pakai nama panggil rumah. Sampai 2017, ketika meracikopi berdiri nama panggilan rumah ini mulai dipakai oleh non keluarga. Akhirnya.

Penyebabnya adalah, salah satu founder meracikopi adalah adik ipar. Salah satu karyawan saat awal-awal berdiri juga masih keluarga. Mereka semua memanggil mas iwan. Begitu ada tambahan karyawan masuk, begitu juga pelanggan yang juga kebanyakan masih kawannya para founder dan karyawan, pada ikut-ikutan memanggil mas iwan. Sejak itu, saya punya dua nama panggilan.

Mungkin ada pertanyaan konspiratif : “Apakah upaya perubahan nama panggil ini sengaja dibuat untuk melupakan masa lalu dengan cara re-branding personality ?”

Ah, gak usah terlalu konspiratif berpikir. Jawaban jujur saya, ini semua terjadi apa adanya. Seperti saya yang apa adanya. Meski selalu dituduh punya banyak rencana konspiratif, dan selalu menilai bahwa semua yang saya lakukan adalah hal-hal yang terencana, berarti penilaian itu telah menganggap kalau saya begitu pintar. Tapi jawaban super jujur saya, selama ini hanya berjalan mengikuti air mengalir saja. Kebetulan saja, momentnya pas. Kebetulan juga, adanya nama panggilan baru (atau sebut saja telah rename dari akar sejarahnya, wkwkw) disaat sedang menjalani dunia yang baru. Hidup yang baru. Dan mendapat teman-teman baru.

Maka kini, ketika ada yang bertanya nama saya, baik pelanggan, marketing bank dan asuransi yang sedang berjuang promosi, pejabat lokal, hanya saya kenalkan nama Iwan.


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Rabu, 14 November 2018

Jiwaku Bebas

Tau kah kau, apa itu jiwa?
Ini tentang aku diri, aku ada, dan aku berada
Tentang eksistensiku

Adalah harapan
Yang membuatku dulu terpenjara
Tentang rindu yang merusak kebebasan jiwa

Lalu hujan yang membasahiku tadi,
Di perjalanan pulang jelang sepertiga malam,
Menyadarkan tentang harapan yg sudah tak ada

Disitulah aku bertanya kepada Tuhan,
Apakah jiwaku sudah bebas?

Memang jawabannya tak langsung
Tapi ruang dan waktu yang menceritakannya
Diantara pikiran yang diam-diam bersembunyi

Sekali lagi aku bertanya,
Seperti apa jiwa yang bebas?

Jawabannya hanya ada dipikiranku
Bersembunyi sangat dalam

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Rabu, 24 Oktober 2018

BATU


Sudah lama ingin kukatakan bahwa batu besar ini masih terus menindihku.
Berat, menyesak nafas, dan mulai merusak akal.
Yang aku minta hanyalah kekuatan.

Kekuatan yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.

Karena aku ingin Tuhan membantuku menghancurkan batu besar ini
Menjadi debu-debu kecil agar bisa hilang karena terbang terbawa angin.

Tahukan, batu besar yg berat itu bernama rindu

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sabtu, 29 September 2018

Soal Komunisme


Lagi ramai-ramai bahas komunisme, jadi ingin ikut-ikutan membahas juga. Siapa tau bisa menambah pengetahuan dan bermanfaat.

Sebelum bicara politik dan sejarahnya di Indonesia, saya jelaskan dulu apa itu komunisme.

Karl Mark hidup berada pada kondisi sosial dimana kaum kapitalisme begitu merajalela menindas kaum pekerja atau di isitilahkan proletar. Dia mengungkapkan teori bahwa semua penyebab adanya ketimpangan sosial ini adalah praktik kapitalisme dimana para pemilik modal bisa mengakumulasi modal dengan menindas para pekerja. Ketimpangan sosial tersebut yang juga menciptakan masyarakat berkelas.

Menggunakan konsep filsafat materialisme dialektika, dia menyimpulkan bahwa dunia ini tersusu oleh materi-materi saja. Tak ada yang namanya ruh, atau akherat. Tak percaya pada sesuatu yang abstrak. Materialisme (dari akar materi) menjadi pijakan filsafat mark untuk menilai dunia ini. Lalu materi-materi ini terus berubah dalam hukum-hukum dialektika. Ia meminjam teori dialektika dari tokoh filsafat bernama Hegel (padahal Hegel adalah penganut filsafat Idelisme: yakni dunia tak tersusun atas materi tetapi terbentuk dari ruang ide). Dengan menggunakan dialektika, bahwa sifat dunia, baik dalam hukum-hukum alam, maupun sosial, terus bergerak pada proses tesis, anti tesis, dan sintesis.

Dari pijakan materialisme dialektika tadi Mark melihat fenomena sosial seperti latar belakang masyarakat Eropa saat itu menyimpulkan bahwa kondisi-kondisi kaum proletar yang terus ditekan kaum kapitalis akan terjadi proses dialektika sosial, yaitu sebuah perlawanan dari kaum proletar untuk mencari keadilannya. Dalam hal ini, tesis adalah keadaan, anti tesis adalah pertentangannya, sedangkan sintesis adalah hasil dari perubahan itu. Sintesis juga tak berhenti, akan terus bergerak menjadi tesis, lalu ada anti tesis, menjadi sintesis lagi. Misal, dalam hukum alam air adalah tesis, lalu dipanaskan adalah anti tesis, menjadi uap adalah sintesis.

Disitulah Mark merumuskan cita-cita sebuah gerakan sosial bernama komunisme sebagai hasil sintesis dari rumusan dialektikanya. Komunisme adalah sebuah keadaan masyarakat yang tanpa kelas dimana semua barang-barang produksi adalah milik bersama. Tak ada kepemilikan pribadi. Tak ada pemilik modal. Tak ada tuan tanah. Semuanya rata. Semuanya bekerja. Tak ada kaya, dan tak ada miskin. Sehingga, bagi Mark, hasil sintesis ini adalah harapannya agar tak ada penindasan dari kaum pemilik modal, atau kaum dari strata/kelas paling atas.

Jadi, komunis itu bukan disederhanakan menjadi kelompok yang anti agama. Bukan. Anti agama istilah yang lebih tepat adalah ateis. Orang Ateis belum tentu komunis. Sedangkan orang komunis biasanya lebih cendrung ateis. Karena konsep dasar pijakan filsafatnya yang materialisme membuat mereka tak percaya pada Agama.

Agama dipandang mereka sebagai penyebab manusia suka berimajinasi tentang alam lain sehingga membuat kaum agamawan memaksa gagasan “iman”-nya yang membuat terjadinya konflik atau penindasan. Pendapat ini karena konteks pada masa itu Karl Mark hidup ketika kaum agamawan dari gereja di Eropa begitu berkuasa dan suka menindas kaum yang menolak pandangan gereja. Begitu juga banyak kaum agamawan yang berada dari kalangan borjuis atau kalangan kelas atas, pemilik modal, atau orang kaya-lah. Maka, Mark menyimpulkan bahwa agama adalah candu. Agama juga yang dapat menghalangi cita-cita komunis. Mungkin dulu Mark belum mengenal Islam kali ya.

Selain berpijak pada materialisme dialektika, marxisme juga menggunakan metodelogi materialisme historis dalam menyusun teorinya. Mark beranggapan bahwa terbentuknya sejarah (kejadian masa lampau) bukan karena kesadaran manusia yang membentuk kondisi sosial-ekonomi tetapi kondisi sosial-ekonomi (bisa juga disebut sistem sosial) yang membetuk kesadaran manusia. Ia melihat kejadian-kejadian yg dialami manusia secara material, tanpa melihat aspek non materil yg menjadi keyakinan manusia. Dalam hal ini, faktor-faktor produksi (atau disederhanakan bagaimana manusia itu hidup dan memenuhi kebutuhannya) yang menentukan jalannya sejarah manusia. Makanya, Mark termasuk seseorang penganut determinasi, atau bahasa agamanya takdir mutlak.

Dari metodelogi berpikirnya, ia menilai kondisi kaum proletar yg tertindas di masa itu karena terbentuk dari proses evolusi sejarah dengan bermunculannya faktor produksi berupa praktek kapitalisme. Seperti di tulisan di awal, kondisi sosial itu akan berdialektika menemukan sintesisnya. Sehingga bagi penganut teori marxis, agar tak sekedar teori, mereka mesti mewujudjan sintesis tersebut, yaitu terciptanya masyarakat komunis. Jalan yang diraih adalah proses perubahan yang total, atau disebut juga revolusi. Lahirlah kelompok-kelompok komunis revolusioner menggunakan perangkat Partai Komunis untuk mewujudkan ambisi tersebut. Teori marxis berkembang dengan kemunculan tokoh-tokoh yg terpengaruh, seperti marxisme-leninisme (marxis dari ajaran Lenin). Karl Mark pun bersama Friedrich Engel menyusun Manifesto Komunis.

Jadi sebenarnya, marxisme itu tak hanya sebuah teori filsafat tetapi berkembang menjadi teori sosial dan ekonomi, termasuk politik. Teori marxis begitu berpengaruh di abad 19 hingga 20 sehingga banyak intelektual masa itu termasuk di Indonesia sendiri menggunakan pendekatan marxis untuk menganalisis fenomena sosial dan menjalankan gerakan revolusioner.

Marxisme masuk ke Indonesia di bawa oleh tokoh partai sosialis Belanda bernama Sneevliet. Ia datang ketika Sarekat Islam (SI) sedang berada di puncak kebesarannya yang membuat pihak pemerintah Hindia Belanda harus berhati-hati bersikap terhadap SI. Rupanya kehadiran Sneevielt membuat anak-anak muda dari SI berguru kepadanya. Lahirlah sosok-sosok muda yang awalnya binaan Tjokroaminoto menjadi murid Sneevielt seperti Semaoen, Darsono, Muso, Tan Malaka, dll. Tak hanya mereka, tokoh-tokoh pengurus SI meski tak berguru langsung dengan Sneevielt juga terpengaruh ajaran Marxis, sebut saja Haji Misbach, Mas Marco, dll.

Mereka-mereka itu mengusulkan agar Sarekat Islam menggunakan pendekatan Marxis dan ideologi Komunis untuk melakukan gerakan revolusioner melawan Belanda. Mereka mengkritik para pimpinan SI yang bersikap terlalu lembut bahkan kooperatif terhadap Belanda. Mereka juga banyak mengkritik para ulama, terutama organisasi masyarakat Islam, seperti Muhammadiyah, dll, yang tak punya sikap terhadap penjajah. Mereka melihat Islam terlalu lemah. Tak punya alat dan teori untuk menghadapi imperialisme kapitalis. Bahkan banyak pula kalangan muslim yang dituduhkan mereka termasuk bagian dari kapitalisme itu sendiri. Karena memang pada masa itu kaum muslim banyak yang menjadi pedagang dengan kekayaan yang lumayan melimpah, seperti turunan arab, atau para ulama yang pedagang.

Terjadilah pergulatan ideologi di dalam tubuh SI. Ada dua kubu, pertama kubu yang ingin tetap mmeperjuangkan Islam sebagai dasar perjuangan, yakni Agus Salim, Abdul Moeis, Suryopranoto (Tokoh SI Yogya), Kartosuwiryo (yg nanti menjadi pimpinan DI/TII setelah merdeka), H. Fachrudin (tokoh Muhammadiyah). Kemudian ada kubu komunis yang nama-namanya sudah disebut di atas. Mereka tergabung dalam keanggotaan SI semarang (dikenal dg SI Merah) yang diketuai Semaoen. Semaoen (ketika itu umurnya baru 19-20 tahun) adalah tokoh yang dg lantang mengatakan hanya marxisme satu-satunya alat yang bisa menghancurkan kapitalisme. Sudah terbukti dengan kemenangan kaum buruh dalam revolusi Bholsevik 1917 yang meruntuhkan kekaisaran Tsar Rusia.

Tjokroaminoto sendiri mencoba mencari jalan tengah. Tapi ia termasuk sosok yang mencoba mengkritik marxisme. Seperti pada tokoh kubu Islamis lainnya, Tjokroaminoto beranggapan kalau marxisme tidak bisa dijadikan ideologi SI yang memegang ajaran Islam. Ia mengkritik teori materialisme-historis Karl Mark yang menolak adanya realitas non materi. Tapi prinsip-prinsip sosialisme; konsep sosial-ekonomi lebih moderat dari komunis, bisa diterima dan sesuai dengan ajaran Islam. Lalu ia menyusun buku Sosialisme dan Islam yang mengurai sejarah dan ajaran Islam yang terdapat prinsip-prinsip sosialisme. Ia menunjukan kepada kaum komunis itu bahwa Islam juga memiliki ajaran untuk melawan imperialisme kapitalis.

Sosialisme Islam menjadi dasar ideologi SI setelah terjadi perpecahan, atau lebih tepatnya setelah kelompok komunis diusir dari SI. SI yang awalnya hanya gerakan ekonomi dan sosial menjadi gerakan politik dengan merubah menjadi partai (PSI terbentuk tahun 1924 setelah PKI terbentuk dahulu tahun 1920). Inilah awal persaingan politik Islam dengan komunisme di nusantara. Mereka mulai merebut pengaruh dan saling bersaing merebutkan kaum proletar untuk melakukan gerakan revolusioner. Hanya saja bedanya PSI pada kebijakannya masih bersifat kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda dengan menghadirkan anggotanya di volksraad (dewan rakyat). Sedangkan PKI lebih memilih dengan jalan pemberontakan dan menyusun agenda revolusi.

Era 1920 - 1926, ketika masa-masa PKI menjadi legal di Hindia Belanda adalah masa dimana rakyat (terutama di Jawa) menjadi radikal. Kelompok-kelompok komunis itu menggerakan kaum buruh/proletar melakukan mogok kerja dengan beraneka ragam tuntutan kepada tuan modal. Puncaknya di tahun 1926 mereka melakukan pemberontakan atau “revolusi” namun gagal. Sehingga PKI menjadi partai terlarang dan tokoh-tokoh tadi ada yang dibuang ke Digul dan ada yang pelarian ke luar negeri. Sejarah lebih detail masa-masa radikalnya rakyat bersama komunis di tahun-tahun ini bisa baca buku hasil disertasi Takashi Shiraisi yang berjudul “Zaman Bergerak: Radikalisasi Rakyat Jawa 1912-1926”.

Yang menjadi menarik adalah meski ajaran marxis berpijak pada materialisme yang tak meyakini Tuhan, bukan berarti tokoh-tokoh tersebut menjadi Ateis. Mereka menilai bahwa ide marxisme hanya alat bergerak mereka untuk menghadapi imperialisme kapitalis Belanda. Seperti kata Soe Hok Gie dalam bukunya “Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, dikalangan komunis ditemukan berbagai macam tipe orang yang secara ideologis tak marxis-leninnisme. Seperti ada Mas Marco yang masih percaya dengan mistisme Jawa. Ada Haji Misbach yang mencoba mengintegrasikan ajaran Islam dengan Komunisme. Begitu juga Semaoen, Alimin, Muso, yang merupakan anak-anak Sarekat Islam, masih meyakini agamanya Islam, tetapi menggunakan ideologi komunis untuk melakukan perlawanan terhadap imperialisme kapitalis Belanda. Tak hanya di Indonesia, di negeri-negeri arab pun ketika komunis masuk terjadi persinggungan dengan Islam. Meski jatuhnya tetap menjadi sekuler, karena Islam hanya untuk urusan akherat, bukan untuk dunia.

Namun dalam persinggungan konsep agama Islam dari kalangan komunis cendrung melahirkan tafsir baru tentang ketauhidan yg bertentangan dengan ulama dari kalangan mazhab. Misalnya saja Tan Malaka, sosok intelektual terbaik yang pernah dimiliki negeri ini dari kalangan komunis, mencoba memahami Tuhan dalam pandangan filsafat materialisme. Tak usah dijelaskan, karena rumit sekali, sy juga belum paham. Meski seorang komunis, ia tetap menganggap dirinya muslim karena dibesarkan dari lingkungan yg taat beragama dan masih meyakini adanya Tuhan Allah Swt. Tan Malaka pernah berujar: di hadapan Tuhan aku muslim. Di hadapan manusia aku komunis. Di hadapan mantan aku hanya sebutir debu. (Yang terakhir cuma guyon)
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Minggu, 25 Maret 2018

Gara-gara Nixon Diajak Ngopi Soekarno

Foto: majalah American Miscellany, No. 64, 1953

Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat tahun 1953 melaporkan kepada Gedung Putih adanya ancaman serius pada rezim Soekarno di Indonesia. Pasalnya, CIA mencium aroma penyusupan komunis di tubuh pemerintahan RI.
Direktur Mutual Security Agency Harold Stassen meminta kepada Richard Nixon yang saat itu menjabat wakil presiden AS dapat melakukan langkah-langkah strategis menyingkirkan Presiden Soekarno. Bahkan berdasar data dari Tim Weiner dalam buku Membongkar Kegagalan CIA, akan direncanakan agenda pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Seperti ingin mengkonfirmasi laporan CIA tersebut, Nixon mengunjungi Indonesia pada Oktober 1953. Tiba di Indonesia wakil presiden AS itu tak hanya disambut dalam seremonial kenegaraan tetapi juga diajak untuk mengenal Indonesia. Salah satunya diajak jalan-jalan oleh Soekarno ke area wisata Puncak dan melihat kehidupan rakyat.
Dalam perjalanan itu pula dengan tanpa rencana Soekarno mengajak wakil presiden AS itu berhenti di pinggir jalan menikmati kopi di warung kopi. Gaya kepemimpinan egaliter yang dimiliki Soekarno membuat hubungan mereka sangat cair. Bagaimana tidak, pejabat sekelas mereka mau menikmati kopi di warung pinggir jalan.
Kembali ke AS, Nixon melaporkan ke pejabat CIA dan mengatakan bahwa Sukarno “mendapat dukungan luar biasa dari rakyat, sama sekali antikomunis, dan tidak ada keraguan bahwa dia adalah ‘kartu’ utama Amerika Serikat.”
Hingga tahun 1960-an rencana pembunuhan tersebut tidak terlaksana. Tahun 1956 Soekarno berkunjung ke negeri paman sam dengan sambutan yang luar biasa. Malah ketika Presiden AS John F. Kennedy, hubungan dengan AS semakin akrab.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Jumat, 16 Maret 2018

Kopi Natural Process

Proses pengeringan biji di proses natural. Foto: doc pribadi
Kenapa ada kopi aromanya harum? Kenapa kopi ini rasanya kebuah-buahan? Kenapa ada kopi rasanya seperti wine? Sedikit ingin menjelaskan tentang kopi natural process dari pasca panen hingga perlakuannya saat diseduh berdasar pengalaman belajar.
Yang paling perlu diketahui adalah bahwa kopi itu rasanya tidak flat, tidak pahit tok. Tapi, terkhusus arabika, rasa kopi itu bisa beragam. Dari pahit yang tidak bisa dinikmati, sampai kopi yang rasanya seperti minum teh, atau jus buah, tidak ada pahitnya sama sekali. Manisnya unik. Guru saya, Pak Eris Susandi dari AEKI, sudah meneliti puluhan tahun bahwa kopi itu memiliki beragam karakter, terutama dari asalnya. Itu yg sekarang menjadi trend dengan istilah kopi single origin.
Mulai dari kondisi tanaman lingkungan sekitar, unsur hara tanah, ketinggian, cuaca, posisi sinar matahari, pilihan varietas, dan terutama perawatan, akan mempengaruhi karakter rasa. Biasanya petani yang sudah ahli ketika ingin mencari target rasa akan memainkan varietas tanaman. Jenis arabika sendiri memiliki puluhan viarietas. Tak berhenti di situ. Proses pasca panen juga cukup mempengaruhi. Pasca panen maksudnya adalah proses kopi dari petik masih dalam bentuk buah menjadi biji kopi yang siap di sangrai. Kegiatan di pasca panen ini adalah merubah kadar air biji kopi dari 60% ke 12%. Artinya, akan ada proses pengeringan; dari biji yang berada di dalam buah kopi hingga menjadi biji kopi mentah, atau dikenal dengan green bean.
Proses pasca panen ini ada 2 cara, yaitu proses basah dan proses kering. Kedua proses itu intinya sama-sama cara untuk melepaskan biji kopi dari buahnya hingga pengeringan. Bedanya, pada proses basah biji kopi setelah dikelupas buahnya masih menyisakan kulit tanduk, berupa lendir yang masih menyelimuti biji kopi. Untuk menghilangkan lendir ini adalah dengan cara direndam dengan air selama 24 hingga 36 jam. Kemudian dijemur hingga kadar air antara 11 - 12 %.
Kanan Natural Process, kiri Honey Process. Foto: Doc Pribadi
Sedangkan proses kering ada 2 pilihan lagi, yaitu natural process dan honey process. Bedanya, pada natural process; biji kopi langsung dijemur di bawah sinar matahari masih di dalam buah. Sedangkan pada honey process; biji kopi dikelupas dulu dari daging buahnya, kemudian dijemur bersama lendir atau kulit tanduk yang menyelimuti biji kopi tadi. Biasanya proses kering ini memerlukan waktu yang lama, antara 2 - 4 minggu, dan tingkat resiko kegagalan yang tinggi. Makanya harga lebih mahal.
Natural process sebenarnya bukan hal yang baru di dalam proses pasca panen. Ini adalah cara paling tradisional dan cara yang sudah sering dilakukan nenek moyang. Namun sejak kopi masuk ke dunia industri, industri pertanian kopi mencari cara agar proses pasca panen bisa lebih cepat dan berbiaya resiko rendah. Maka adanya proses basah tadi. Tapi kini, sejak mulai trend kopi single origin, nampak cara pasca panen natural process seperti mulai giat kembali. Alasannya sederhana, natural process memaksimalkan keluarnya body (tingkat ketebalan dari rasa asli) kopi. Karakter rasa asli (body) kopi dari beragam daerah dan beragam tingkat ketinggian serta ragam varietas akan bisa keluar secara maksimal dari proses pasca panen secara natural ini.
Berbeda dengan proses basah yang cendrung lebih tinggi tingkat asamnya (acidity) dari pada body. Namun, ada proses basah yang mencoba menyeimbangkan antara tingkat asam (acidity) dengan tingkat body, yaitu semi wash. Kalau di atas tadi penjelasan untuk proses full wash, sedangkan pada semi wash setelah daging buah kopi dikelupas, biji yang masih di dalam kulit tanduk di jemur dahulu hingga kadar air 30%-35%, kemudian direndam air untuk menghilangkan kulit tanduk, lalu dikeringkan kembali. Tapi terkadang di dunia pertanian sendiri ada perdebatan atau perbedaan soal kedua isitilah proses basah. Ada yang menganggap penjelasan saya mengenai semi wash itu adalah full wash. Meski begitu, proses basah tidak terlalu memaksimalkan keluarnya body kopi.
Di proses natural yang bisa menjadi penyebab body kopi bisa maksimal adalah kemungkinan dari masa proses pengeringan itu disaat biji kopi masih didalam buahnya unsur-unsur zat yang berada di buah kopi diserap oleh biji. Jika semakin maksimal, karakter asli kopi akan keluar. Itulah kenapa pada kopi seperti Bali Kintamani yang natural process terkenal dengan rasa dan aroma citrus atau kejeruk-jerukan. Lalu kopi gayo muncul rasa green apple, berry, atau floral. Dan kemungkinan, rasa yang ke berry-berry-an ketika pengeringan natural process dibuat lebih lama akan memunculkan rasa seperti wine, seperti yang terjadi pada kopi gayo. Ini hanya teori saya saja, masih bisa salah. Karena berdasarkan pengalaman di cold brew, kopi gayo yang masih full wash ataupun natural biasa sudah hampir memunculkan aroma wine.
Nah, proses pasca panen yang memaksimalkan body kopi pun juga mesti dikuti dengan proses sangrai dan proses seduh yang juga memaksimalkan body. Ketika saya mendapat green bean kopi dari proses natural, teknik sangrai yang saya pilih adalah slow roast.
Dari pelajaran ilmu sangrai yang saya terima dari Pak Eris Susandi, ada 3 teknik sangrai, yaitu Fast Roast, Slow Roast, dan Complex Roast. Slow roast maksudnya adalah untuk menuju biji kopi mengalami crack saat proses sangrai memerlukan waktu lebih lama dari pada fast roast dan complex roast. Maksudnya crack adalah suara ledakan kecil ketika biji mengembang karena mateng.
Dalam teknik sangrai yang dimainkan adalah suhu dan power api. Pada slow roast bagaimana suhu ketika biji kopi masuk drum sangrai, dan suhu ketika biji kopi keluar, serta power api (besar kecilnya api), bisa memaksimalkan kematengan biji di bagian dalam dan luar. Dengan begitu, body kopi juga akan keluar maksimal. Seperti halnya goreng ayam, pakai api kecil dengan api besar menghasilkan kematengan dan kegurihan yang berbeda. Lama waktu memasaknya juga berbeda.
Kalau Fast Roast lebih bertujuan mematengkan biji bagian luar saja, karena memang untuk mengolah biji kopi ber-acidity tinggi seperti kopi-kopi proses basah tadi. Fast roast cendrung mengincar rasa gurih di kopi. Lebih mild dan bright. Tapi itu semua tidak baku, kadang saya sendiri sering me-sangrai kopi dari proses basah menggunakan teknik slow roast.
Tak hanya itu, kopi natural proces pada profil roastingnya (tingkat kematengan, atau tingkat gelapnya) sebaiknya pada tingkat light atau maksimal medium, agar karakter rasa asli bisa dirasakan. Berbeda kalau profil dark yang cendrung lebih kuat pahitnya. Tapi ini soal selera saja. Orang-orang Eropa lebih suka kopi dark, meskipun itu natural process.
Setelah proses sangrai, kemudian di proses seduh. Saya sering kali menyarankan ke pelanggan kalau menyeduh kopi natural process sebaiknya pakai french press, aeropress, atau tubruk sekalian. Bukan pakai V60 drip. Atau kalau pun menggunakan mazhab seduh pour over (teknik saring) bisa menggunakan kalita wave, atau blue bottle drip yang kita punya. Pada intinya, cari alat seduh yang tujuannya bisa memaksimalkan body, namun bisa mengurangi pekat atau after taste yang tidak clean, maksudnya sering kali body yang maksimal tapi terlalu pekat sehingga sering ada rasa yang lengket di tenggorokan setelah menelan.
Pakai V60 sebenarnya tidak masalah, ini hanya soal selera saja. Tujuan V60 drip sebenarnya untuk memainkan keseimbangan antara tingkat acidity dan body dan membuat after tastenya clean. Jika jago memaksimalkan body di V60 drip silakan saja. Tapi memang, bagi saya pribadi kopi natural process seperti ini lebih amannya pakai mazhab seduh immersion; ada proses perendaman langsung antara bubuk kopi dengan air (noted: karena saya pribadi belum jago banget memainkan V60, hehe).
Apa yang saya jelaskan di sini juga belum tentu sepenuhnya benar. Hanya me-teorikan berdasar pengalaman dan berguru. Ilmu perkopian masih terus berkembang dan berubah. Dan yang terpenting di dunia kopi tidak ada yang salah atau benar, tidak ada kopi yang tidak enak. Semuanya hanyalah masalah selera. Jadi jangan salahkan selera orang. Mau dicampur gula juga tidak salah. Tapi kalau kopinya sudah enak tanpa gula, dan tidak pakai gula bisa lebih sehat, kenapa tidak dicoba saja. Begitu yang diajarkan para guru kopi kepada saya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Senin, 01 Januari 2018

Move On di Tahun yang Baru



Seperti setahun lalu menjelang pergantian tahun, kata-kata move on itu kembali terdengar. Pesan itu sama. Tapi beda sumber. Setahun lalu terdengar dari sebuah media, sore tadi dari seorang teman (ketika menulis ini di malam pergantian tahun ke 2018).

Tak ada yang berubah di malam-malam pergantian tahun. Bedanya, saat itu, ada seorang teman yang menyayangkan sikap saya harus meninggalkan daerah yang telah saya huni hampir 11 tahun. Orang-orang seperti saya, menurutnya, lebih pantas berada di kota yang selalu ramai dengan aktivitas pergulatan pemikiran, pertarungan gagasan, dan studi wacana. Bahkan, ada kawan yang lain menganggap saya sedang kalah. Seperti pulang dengan kekalahan.

Memang ada ragu ketika memutuskan pulang. Tapi pilihan itu sudah saya tekadkan. Bukan bermaksud ingin meninggalkan dunia literasi yang selama ini digeluti. Atau menjauh dari peradaban ruang pemikiran. Hanya ingin mengabulkan desakan ibu sejak 3 tahun sebelumnya meminta saya pulang.

Permintaan orang tua itu juga sejalan dengan pikiran jumud yang terus bersarang, mungkin ada 3 tahun hinggap. Rupanya, sejalan dengan ajakan move on, bahwa cara terakhir untuk move on adalah pulang. Pulang untuk merangkai gagasan baru.

Hantu dipikiran yang terus bergentayang nampak menjadi munculnya jumud selama 5 tahun terakhir sebelum keputusan pulang. Dia adalah hilangnya gagasan. Ditambah dengan rutinitas harian pekerjaan yang mengurung kreativitas. Pikiran saya menjadi rumit.

Fase pernah ‘terjatuh’ akibat sikap arogan soal asmara melahirkan sebuah pertanyaan besar tentang hakikat: bagaimana takdir itu bekerja. Ketakpuasan dari pencarian pada dalil-dalil normatif agama membuat pencarian itu ke ranah filsafat yang penuh dengan teori-teori spekulatif. Tentang penyikapan bagaimana ruang dan waktu bekerja di ruang realitas tak bisa dijawab secara logis dan realistis oleh para guru ngaji di halaqoh-halaqoh. Dan pikiran pun bertarung. Memahami bagaimana para tokoh pemikir barat menyusun konsep realitasnya tentang alam metafisik maupun fisik. Dari Sofisme Yunani hingga postmodernisme. Dari rumusan atom democritus sampai Humanisme dan Eksistensialime Satre. Tak ada jawaban memuaskan. Adanya saya menjadi gila.

Persoalannya tak hanya itu. Tak fokus pada obsesi yang dikejar juga melengkapi kejumudan. Bayangkan saja, semua profesi saya geluti. Dari web programer, design grafis, menulis, produksi film, event organizer, fotografer, jurnalistik, dsb.

Belajar agama juga tak terstruktur. Tiba-tiba senang dalami sebuah kasus fikih. Tiba-tiba senang dangan ilmu kalam. Tiba-tiba ingin menargetkan bisa hafal satu surat Al Baqarah tapi gak sampai-sampai (hingga sekarang). Bahkan, semua kajian berbagai harokah saya pelajari demi rasa penasaran.

Hingga pada suatu waktu sampai pada puncak kebingungan, saya mau jadi apa?
Kebingungan yang berkorelasi dengan pencarian hakikat takdir itu; apakah manusia sepenuhnya bebas memilih tanpa campur tangan keuatan dibalik realitas atau tak ada kebebasan sama sekali yang artinya takdir adalah ‘semacam kutukan’. Memang, persoalan dari pertanyaan saya ini menjadi perdebatan panjang antar mahzab ilmu kalam selama berabad-abad. Persoalan esensi dan eksistensi Tuhan dalam konsep realitas mutlak dan persoalan sifat wujud Allah selalu diperdebatkan hingga kini. Makanya antara Salafy dengan kalangan tradisional NU tidak pernah akur, saling mentakfirkan akidah diantara mereka.

Ada lagi soal pekerjaan. Intinya mencari penghidupan. Tapi seperti terkekang dengan rutinitas. Serasa seperti mesin. Gerakannya terlalu mekanik. Ada misi, tapi tak terinternalisasi dalam target pribadi. Selalu di depan layar komputer yang melelahkan. Berkomunikasi dengan berbagai stakeholder dari balik ponsel. Banyak pertemanan dengan pelanggan tapi tak pernah bertemu wajah.

Hingga masuk pada fase dimana pernah mengalami masa yang paling bete. Masa dimana ibadah menjadi malas. Fase dimana Tuhan pun ingin di lawan. Sepertinya memang benar, semua itu mungkin karena tidak taat dengan permintaan ibu untuk pulang.

Yang jadi soal, ketika pulang saya harus jadi apa. Pertanyaan ini terus muncul. Menjadi karyawan kantoran lagi pasti akan tambah jumud. Balikpapan juga seperti tak memberikan harapan ketika ingin bergelut di dunia literasi. Hingga sampai suatu titik saya termenung, melepaskan semua beban, bertobat atas kesalahan-kesalahan, dan berdoa memohon petunjuk.

“Eureka!!” kata Archimedes ketika berhasil menemukan teorinya.

Pikiran untuk pulang itu disambut pula dengan jawaban sederhana soal takdir. Pertanyaan intelektualku seperti terpecahkan. Datangnya seperti ilham. Tiba-tiba saja muncul dipikiran. Seperti mendapat petunjuk (hidayah). Jawaban yang realistis dan logis serta punya korelasi positif dengan dalil-dalil normatif Al Qur’an dan Hadist.

Di waktu itu pula saya mengenal dunia kopi yang sebelumnya tak pernah terpikirkan sama sekali bakal membuka kedai kopi. Mungkin ini adalah jawaban setelah beberapa tahun berdoa meminta petunjuk.

Lalu, di malam tahun baru setahun yang lalu saya tak punya gagasan apa-apa selain pulang dan membangun warung kopi. Sambil berharap, semoga itu pilihan saya untuk move on.

Tahun 2017 benar-benar menjadi masa yang baru bagi saya. Awal Februari menjadi warga Kota Balikpapan kembali. Awal Mei meracikopi memulai. Tak ada lagi filsafat, sesekali ingin mengkaji. Tak ada lagi rutinitas mekanik. Yang ada bagaimana ide-ide kreatif bisa dieksekusi. Yang paling penting saya menjadi lebih dekat dengan ibu. Tak lagi memikirkan siang atau malam ini mau makan apa, karena sudah tersaji di meja makan rumah. Ditambah hiburan dari keponakan, anaknya adik, yang sedang fase lucu-lucunya.

Tahun 2017 ini juga saya memiliki banyak teman baru. Jika pekerjaan dahulu banyak pelanggan yang hanya berkomunikasi melalui perangkat gadget dan aplikasi chat, maka kini tak ada lagi pertemanan di ruang maya. Warung kopi yang saya geluti membuat pertemanan dengan pelanggan menjadi nyata. Saya yang pada dasarnya adalah orang introvet, sulit bergaul dengan yang belum kenal, ‘dipaksa’ menjadi orang yang mudah bergaul. Menjadi orang yang bisa berbincang dengan siapa saja; apapun tipikalnya, apapun agamanya, apapaun ideologinya, semuanya menjadi teman. (baca aja: berkawan dari meja bar). Tidak semasa di Jogja ketika pertemanan masih sebatas teman-teman yang masih mau shalat saja.

Di luar bayangan saya sebelumnya bisa berteman dengan banyak wartawan lokal Balikpapan. Bercerita tentang media dan dunia tulis menulis menjadi nyambung. Bertemu dengan berbagai rekan sesama penyuka kopi. Berteman dengan para wanita yang senang nongkrong hingga tengah malam dengan asap rokok yang selalu mengepul.

Diantara mereka bukan hanya wanita tanpa ide. Sebagiannya adalah aktivis sosial. Yang mungkin langka ada di kota ini. Pernah berbincang dengan salah satu dari mereka soal sastra hampir 3 jam. Perbincangan yang menghabiskan 4 batang rokok untuknya. Di dunia kopi, saya banyak berteman dengan para wanita perokok. Sayangnya.

Mereka adalah pelanggan-pelanggan saya. Sebelumnya saya jarang memiliki pertemanan dengan orang-orang seperti ini. Meski mereka jauh dari agama, saya ingin tahu betul bagaimana sisi manusiawi mereka. Bagaimana mereka berpikir. Dan bagaimana mereka meyakini Tuhan. Masih adakah celah harapan untuk mereka berubah menjadi orang-orang yang dekat dengan agama? Adalah pertanyaan yang selalu muncul.

Dapat dikatakan, tahun 2017 adalah tahun dimana saya menemukan ruang sosial baru. Ruang sosial yang penuh dengan berbagai cara pandang manusia dalam melihat realitas metafisiknya. Dari orang-orang yang ‘katanya dicap radikal dalam beragama’ dan orang-orang yang sholat pun tak pernah.


Ingin lagi bisa bertemu. Menjadi pelanggan saya seperti pelanggan lainnya yang suka bercerita tentang pekerjaan dan kehidupan mereka. Untuk sekedar mengetahui bahwa bulan purnama sedang tidak tertutup awan. Atau berharap bisa berkali-kali bertemu.

Di 2018 saya secara pribadi tak punya target apa-apa. Move on adalah bagian dari pergerakan waktu itu sendiri. Kini posisi saya hanya melihat semesta tanpa waktu. Ingin mengalir seperti air yang bergerak dalam hukum kausalitas. Bukan pasrah kepada takdir, tapi saya mengerti bahwa pilihan-pilihan masa depan saya adalah ruang realitas itu sendiri.

Saya hanya ingin bertemu dengan banyak orang. Menjadi muslim seutuhnya yang terus beramal untuk agama ini selama nafas masih berkerja. Dan ingin bertualang dari Barat ke Timur Nusantara. Lalu menyusun cerita, bahwa cerita yang akan saya susun nanti sudah mutlak bagian dari kerja-kerja dimensi yang tersusun diantara partikel gelombang tanpa suara.

2018 selamat datang untuk petualangan ke Aceh, Lombok, dan pantai bersemi Banda Neira.

Sesekali nulis curhat :P

1 Januari 2018

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Senin, 25 Desember 2017

Kejarlah Kebarokahan

Meja bar di Meracikopi
Sedang asik menikmati minuman di meja bar, pelanggan saya tiba-tiba terkejut oleh berita tv di kedai kopi kami yang sedang menayangkan pembunuhan dengan cara mutilasi oleh seorang suami kepada istri. “Ih.. kok bisa begitu sih. Gak habis pikir.” ujarnya. “Padahal mereka suami istri. Kenapa bisa ada suami sekejam itu.”

Sebenarnya saya gak begitu tertarik dengan berita ini. Komentar pelanggan saya yang juga seorang perempuan berjilbab hanya membuat saya tersenyum. Ia terus heran ketika melihat gambar-gambar foto mesra pasangan itu dari tayangan berita tv yang kemudian berakhir tragis. “Kalo kayak gitu biasanya apa yang salah ya mas? Jadi ngeri.” ucapnya lagi nampak ingin mengajak diskusi atau entah hanya sekedar ungkapan emosi.

“Mungkin gak barokah kali pernikahannya.” jawabku sederhana saja.

“Emang yang buat gak barokah itu gimana?”

Wah, sepertinya saya salah komentar nih. Kalau harus menjelaskan bakal panjang lebar. Jawabannya berat. Lebih pantas untuk seorang ustad. Saya hanya seorang tukang seduh kopi saja dari balik meja bar yang sedang melayani pelanggan. Tapi mau bagaimana lagi. Mesti saya teruskan. Siapa tau bisa dapat pahala karena menjelaskan agama.

“Yang membuat sebuah pernikahan itu bisa barokah, sakinah, mawadah, juga diliat dari proses awal menuju pernikahan. Caranya apa sudah benar sesuai yang diajarkan agama atau tidak.” saya mencoba menjawab.

“Seperti pakai pacaran,” tambahku to the point, “Jalan bareng padahal belum halal. Apalagi  sudah sampai berzina lalu nikah. Dalam agama itu kan proses menuju pernikahannya bisa tidak barokah.”

Ucapanku yang blak-blakan rupanya direspon dengan wajah mengkerut. Seperti tidak terima. “Kalau proses tidak barokah,” tambahku lagi, “Allah bakal menghukum kita dengan berbagai musibah ke depannya. Entah menegur dengan berbagai masalah, bencana, berbagai kesulitan, yang semuanya itu cara Allah untuk memberikan kita hikmah jika kita sadar telah melakukan kesalahan. Cara Allah juga untuk menghapuskan dosa-dosa.”

Pelanggan saya itu hanya manggut-manggut, seolah sedang berhadapan dengan ustad, padahal hanya tukang seduh kopi yang juga masih belajar agama.

“Terus gimana supaya bisa sakinah dan barokah pernikahannya?” tanya pelanggan wanita itu yang membuat saya bingung harus berkata apa. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya belum bisa saya jawab, karena belum mendalami ilmunya, juga belum mempraktekan.

Sayangnya di rak buku warung kopi kami belum ada bukunya Ustad Salim A Fillah dan Ustad Fauzil Adhim. Padahal dulu bertahun-tahun kerja di sana. Dan saya juga belum pernah membacanya. Kalau ada bukunya, Saya suruh saja baca.

“Jadi begini,” saya coba jelaskan, tapi pakai analogi lain.

“Sesuatu yang diawali dengan cara yang salah pasti nanti juga akan diikuti dengan hasil yang buruk. Misalnya saja mencari penghasilan dari syubhat, bisnis yg rugikan orang lain, ataupun mencuri, pokoknya yang cendrung ke arah haram-lah, apalagi haram. Pasti nanti Allah akan membuat harta yang diperolehnya menjadi sesuatu yang tidak baik pula, tak berikan manfaat. Misal, diberi cobaan berupa sakit, sehingga harta yang terkumpulkan langsung habis untuk pengobatan. Atau harta kita tiba-tiba hilang ditipu orang, bisa juga terkena bencana terbakar. Hidupnya akan terus diisi dengan masalah dan musibah terus.

Seperti salah satu ayat Al Qur’an, saya tidak hafal, kira-kira artinya: ‘bencana apa saja yang menimpa karena perbuatan mu sendiri’.”

Yakin deh, ketika mencari penghasilan dari sesuatu yang tidak barokah, dalam arti di sini mencari pendapatan yang melanggar ketentuan-ketentuan yang telah di syariatkan-Nya, pasti hidupnya akan tidak tenang. Hartanya meski semakin banyak, akan terasa terus kurang. Sehingga akan terus mencari cara peroleh harta dengan kecurangan-kecurangan. Kalau jadi pejabat bisa saja korupsi. Lalu ditimpa dengan berbagai keburukan dalam hidupnya. Entah ketahuan polisi lalu dipenjara. Atau tertimpa penyakit. Atau keluarganya yang berantakan. Anak suka habiskan duit. Dan segala macam kesenangan fana dunia yang hanya membuatnya semakin gelisah.

Karena itulah perlunya pedoman agama.” huft, jadinya ceramah deh.

“Bukannya kata Allah di Al Qur’an musibah juga bisa menimpa orang beriman ya?” timpalnya

“Benar,” coba saya lanjutkan. “Tapi lebih tepatnya ujian. Musibah atau hukuman untuk perbuatan dosa manusia, sedangkan orang beriman diberi ujian. Orang beriman diuji karena usahanya untuk menegakan agama. Misalnya dia sudah berhasil peroleh penghasilan yang halal. Allah akan menguji, menggoda, dengan tawaran-tawaran penghasilan yang syubhat. Atau dia diuji dengan harta yang pas-pasan, tak kaya. Begitu salah satu ujiannya, bisa juga dalam bentuk lain.

Kalau dia sabar, disitulah barokahnya. Akan muncul rasa-rasa bahagia, sejahtera, meski kelihatan miskin. Semakin dia meningkat keimanannya,semakin besar juga nanti godaan ujiannya. Jadi ada 2 ujian manusia, hukuman karena kesalahannya, dan ujian karena imannya.

Ujiannya orang beriman itu seperti minum kopi. Pahit, tapi masih bisa dinikmati ketika ia sadar manfaat dan hikmahnya. Begitulah berkah. Makanya, slogan kami di sini kan: berbahagia dengan kopi. Itu ada filosofinya dari konsep barokah tadi.”

Pelanggan itu tampak manggut-manggut saja melihat ‘ceramah’ku yang sok ustad, dengan sambil sedikit senyuman dan pandangan penuh makna.Entah dia bingung, tercerahkan, atau terpesona.

“Berarti kalau nikahnya pakai pacaran atau cara gak halal gitu bakal diberi musibah ya selama menjalanan pernikahan?” tanyanya lagi kembali soal pernikahan.

“Gak mesti. Itu semua tergantung Allah. Kita juga tidak bisa menjustifikasi kalau melihat apa yang ditimpakan musibah kepada seseorang pasti karena dosa-dosanya.”

“Lalu?”

“Bisa juga di hukum dalam bentuk lain. Atau kalau Allah berkehendak hukumannya nanti di akhirat bisa saja. Gak harus di dunia. Bisa saja di dunia terus bahagia. Tapi setelah mati nanti, duar.. duar.. Tersiksa di neraka. Seperti janji Allah kepada orang-orang kafir. Ada tuh di Al Qur’an ayatnya.

Tapi biasanya, meski terlihat bahagia, orang yang banyak dosa cendrung hidupnya tak nyaman, selalu seperti ada yang kurang dan selalu ketakutan. Ketakutan yang tak pernah ia mengerti. Seperti ada tekanan jiwa.

Tapi pada intinya begini mba,” akhirnya aku harus mencoba menjelaskan tema yang jarang saya bincangkan ini.

“Soal pernikahan itu tak hanya masalah cinta. Banyak pasangan yang mesra-mesra di awal. Mesra-mesra sebelum nikah. Pakai kata-kata gombalan cinta. Lalu setelah beberapa tahun menikah, bosan, saling tunjukan sifat jeleknya masing-masing, gak bisa menerima kekurangan, bertengkarlah. Ada yang cerai. Atau seperti berita tadi sampai bunuh-bunuhan. Kalau gak sampai cerai, ya selama masa hidupnya isinya bertengkar melulu. Sampai tua gak ada romantisnya. Nikah hanya cari senangnya saja, gak siap dengan sulitnya berumah tangga.”

“Terus modalnya apa?”

“Ya niatnya ibadah. Ibadah kepada Allah. Nikah itu kan perintah agama. Seperti halnya mencari nafkah, bersedekah, berbuat baik. Nikah bukan soal hubungan cinta saja. Cinta itu dibatasi ruang dan waktu. Sifat yang dirasakannya ada batas waktu. Bisa habis. Karena sifatnya yang duniawi.

Beda dengan ketaatan kepada Tuhan yang sifatnya tembus antar ruang dimensi. Metafisik. Melangkahi waktu. Kebahagiaannya di hati. Untuk sesuatu yang spiritual. Memberikan kita ‘makna’ dan ‘hikmah’. Tujuan ibadah itu untuk mencari barokah, pahala, dan ridho Allah dunia akhirat, sehingga bisa terhindar dari nafsu-nafsu dunia yang bisa melahirkan keburukan dan musibah seperti berita tadi.

Banyak juga yang menikah tanpa dimulai dari perasaan cinta, murni hanya ingin menjalankan ibadah, dijodohi tanpa pernah mengenal sebelumnya, tidak dari dorongan nafsu seperti tertarik karena cantik atau tampannya, mereka ini malah jarang ada konflik, bahkan jarang sampai ada bercerai. Kebanyakan kasus yang bercerai adalah orang-orang yang pernah menjalin cinta sebelum akad.

Tapi bukan berarti gak boleh ada cinta sebelum nikah ya. Saya itu kalau kenal dengan teman wanita dan suka dia, langsung saja ajak nikah. Gak perlu pakai pernyataan cinta, ‘kaulah segala-galanya… bla..bla..’, pakai jalan bareng, berduaan, atau pacaran. Kalau ada rasa cinta, simpan dalam pikiran dulu, dari hati yang terdalam. Kalau udah halal silakan ucap gombalan cinta-cintaan tadi itu sepuasnya. Kalau ditolak, ya udah.”

“Ditolak sedih?” pertanyaannya itu loh, tiba-tiba. Gak enak dengarnya.

“Mau tau banget, atau mau tau sekali?” balas saja dengan candaan.

“Kalau pakai pacaran terus menikah niatnya ibadah kepada Allah bagaimana mas?” entah ini pertanyaan gak terima jawaban tadi, atau memancing saya agar terus berceramah, atau memang ngeyel.

“Salah satu tujuan ibadah karena ketaatan kepada Allah dan mengejar kebarokahan hidup. Makanya doanya kepada orang yang menikah adalah barakallah…. bla..bla.. Mengharap barokah bukan hanya dari doa-doa yang disampaikan, tapi dari kitanya bagaimana memulai sebuah proses dari perbuatan yang diridhoi. Barokah mesti di awali dari ketakwaan, yang artinya menjalani perintahnya dan menjauhi larangannya. Kalau proses kita awali dari yang tak barokah, seperti yang saya bilang tadi, bisa kemungkinan proses selanjutnya juga tidak menjadi barokah.”

Agak diam sejenak. Tapi saya masih ingin melanjutkan, “Untuk mencari jalan yang barokah sudah ada tuntunannya. Lalu bagaimana supaya tau tuntunannya, maka perlu ilmu. Karena itu mempelajari agama itu begitu penting. Agar tahu mana yang salah dan mana yang benar, lalu diamalkan. Jika sudah diamalkan baru nanti akan kita rasakan hasilnya.”

“Apa bisa menjamin orang yang nikahnya seperti yang mas bilang tadi bakal bahagia? Atau barokah tadi?”

“Bisa belum tentu juga. Yang beri jaminan Allah. Kita serahkan saja masa depan kepada Allah, yang penting niat kita murni ingin menjalankan ibadah karena Allah. Kalau kita pasrahkan, insya Allah, jaminan aman masa depan dijaga dari musibah atau hukuman dunia dari Allah. Itu sudah janji Allah.

Seperti yang dibilang sebelumnya, ketakwaan seorang muslim pun juga bakal diuji Allah. Bisa saja orang yang nikahnya murni untuk ibadah, bisa juga mendapat musibah, ketika di perjalanan pernikahan nanti tak sanggup melewati ujian ketakwaan yang diberikan Allah.”

Gadis itu nampaknya hanya manggut-manggut. Entah dia menerima penjelasan saya apa tidak. Setidaknya saya hanya berusaha menjelaskan apa yang menjadi kewajiban saya untuk disampaikan.

“Jadi begitu ya penjelasannya. Maaf, kalau saya jadi banyak bicara. Sebenarnya saya jarang ngomong tema beginian. Kok tiba-tiba jadi seperti ini. Sepertinya saya habis kesurupan ustad. Maklum, belum nikah, jadi jawabannya mungkin banyak sok tahunya. Saran saya ikuti pengajian saja biar nambah wawasan.”

“Gak apa-apa kok mas.” responnya.

Hening sebentar tiba-tiba keluar pertanyaan gak enak, “Terus, kenapa mas belum nikah?”

“Mungkin karena saya lagi diuji.” jawab saja sekenanya.

“Emang pernah dosa apa?” rupanya dia mulai penasaran.

“Mungkin karena sering nolak para akhwat yang mau sama saya.” hahaha… jawab saja sekenannya lagi.

“Kenapa menolak?” hah, orang ini banyak tanya.

“Karena hatiku masih ada di tempat yg lain..” jawaban sederhana sambil berharap agar gadis itu gak bertanya: ‘kalau saya mau sama mas, ditolak juga gak mas??’ wkwkwk, cuma dalam pikiran.

“Siapa itu mas?” Nah dia mulai penasaran .

“Ada deh. Udah ah, ganti topik.”

The End





Nb: cerita yang ditulis sekedar berbagi dan mengingatkan diri.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan dalil

Ketika saya menjelaskan dialog di atas tadi bukan hanya berdasar dari persepsi sendiri tapi memang ada rujukan dalil dari yang pernah saya pelajari pada agama ini.

Kita memang harus membiasakan ketika menjelaskan suatu ajaran agama ada rujukan dalil hukumnya. Tapi karena saya tak punya hafalan yang kuat pada ayat Al Qur’an dan hadist, jadi penjelasannya kepada si penanya tersebut hanya narasi seperti itu. Harap maklumkan.

Berikut dalil-dalilnya :

Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” QS. An-Nisa;: 79

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” QS. As-Syuro:QS. As-Syuro: 30

Ketika Allah menginginkan hamba-Nya suatu kebaikan, maka disegerakan hukumannya di dunia. Kalau Allah menginginkan hamba-Nya suatu kejelekan, maka dosanya ditahan sampai dibalas nanti di hari kiamat.” HR. Tirmizi

Sesungguhnya seorang hamba ketika didahului kedudukan di sisi Allah, dimana amalannya tidak sampai (kepadaNya), maka Allah akan mengujinya di badan atau harta atau anaknya.” HR. Abu Dawud

Sesungguhnya agungnya pahala disertai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang redo maka Dia akan redo dan siapa yang murka, maka Dia juga akan murka.” HR. Abu Dawud

Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tentang Saya

Hanya seorang tukang seduh di warung kopi.

Baca Selengkapnya di sini

Copyright © Ridwan File's | Powered by Blogger