|
Meja bar di Meracikopi |
Sedang asik menikmati minuman di meja bar, pelanggan saya tiba-tiba terkejut oleh berita tv di kedai kopi kami yang sedang menayangkan pembunuhan dengan cara mutilasi oleh seorang suami kepada istri. “Ih.. kok bisa begitu sih. Gak habis pikir.” ujarnya. “Padahal mereka suami istri. Kenapa bisa ada suami sekejam itu.”
Sebenarnya saya gak begitu tertarik dengan berita ini. Komentar pelanggan saya yang juga seorang perempuan berjilbab hanya membuat saya tersenyum. Ia terus heran ketika melihat gambar-gambar foto mesra pasangan itu dari tayangan berita tv yang kemudian berakhir tragis. “Kalo kayak gitu biasanya apa yang salah ya mas? Jadi ngeri.” ucapnya lagi nampak ingin mengajak diskusi atau entah hanya sekedar ungkapan emosi.
“Mungkin gak barokah kali pernikahannya.” jawabku sederhana saja.
“Emang yang buat gak barokah itu gimana?”
Wah, sepertinya saya salah komentar nih. Kalau harus menjelaskan bakal panjang lebar. Jawabannya berat. Lebih pantas untuk seorang ustad. Saya hanya seorang tukang seduh kopi saja dari balik meja bar yang sedang melayani pelanggan. Tapi mau bagaimana lagi. Mesti saya teruskan. Siapa tau bisa dapat pahala karena menjelaskan agama.
“Yang membuat sebuah pernikahan itu bisa barokah, sakinah, mawadah, juga diliat dari proses awal menuju pernikahan. Caranya apa sudah benar sesuai yang diajarkan agama atau tidak.” saya mencoba menjawab.
“Seperti pakai pacaran,” tambahku to the point, “Jalan bareng padahal belum halal. Apalagi sudah sampai berzina lalu nikah. Dalam agama itu kan proses menuju pernikahannya bisa tidak barokah.”
Ucapanku yang blak-blakan rupanya direspon dengan wajah mengkerut. Seperti tidak terima. “Kalau proses tidak barokah,” tambahku lagi, “Allah bakal menghukum kita dengan berbagai musibah ke depannya. Entah menegur dengan berbagai masalah, bencana, berbagai kesulitan, yang semuanya itu cara Allah untuk memberikan kita hikmah jika kita sadar telah melakukan kesalahan. Cara Allah juga untuk menghapuskan dosa-dosa.”
Pelanggan saya itu hanya manggut-manggut, seolah sedang berhadapan dengan ustad, padahal hanya tukang seduh kopi yang juga masih belajar agama.
“Terus gimana supaya bisa sakinah dan barokah pernikahannya?” tanya pelanggan wanita itu yang membuat saya bingung harus berkata apa. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya belum bisa saya jawab, karena belum mendalami ilmunya, juga belum mempraktekan.
Sayangnya di rak buku warung kopi kami belum ada bukunya Ustad Salim A Fillah dan Ustad Fauzil Adhim. Padahal dulu bertahun-tahun kerja di sana. Dan saya juga belum pernah membacanya. Kalau ada bukunya, Saya suruh saja baca.
“Jadi begini,” saya coba jelaskan, tapi pakai analogi lain.
“Sesuatu yang diawali dengan cara yang salah pasti nanti juga akan diikuti dengan hasil yang buruk. Misalnya saja mencari penghasilan dari syubhat, bisnis yg rugikan orang lain, ataupun mencuri, pokoknya yang cendrung ke arah haram-lah, apalagi haram. Pasti nanti Allah akan membuat harta yang diperolehnya menjadi sesuatu yang tidak baik pula, tak berikan manfaat. Misal, diberi cobaan berupa sakit, sehingga harta yang terkumpulkan langsung habis untuk pengobatan. Atau harta kita tiba-tiba hilang ditipu orang, bisa juga terkena bencana terbakar. Hidupnya akan terus diisi dengan masalah dan musibah terus.
Seperti salah satu ayat Al Qur’an, saya tidak hafal, kira-kira artinya: ‘
bencana apa saja yang menimpa karena perbuatan mu sendiri’.”
Yakin deh, ketika mencari penghasilan dari sesuatu yang tidak barokah, dalam arti di sini mencari pendapatan yang melanggar ketentuan-ketentuan yang telah di syariatkan-Nya, pasti hidupnya akan tidak tenang. Hartanya meski semakin banyak, akan terasa terus kurang. Sehingga akan terus mencari cara peroleh harta dengan kecurangan-kecurangan. Kalau jadi pejabat bisa saja korupsi. Lalu ditimpa dengan berbagai keburukan dalam hidupnya. Entah ketahuan polisi lalu dipenjara. Atau tertimpa penyakit. Atau keluarganya yang berantakan. Anak suka habiskan duit. Dan segala macam kesenangan fana dunia yang hanya membuatnya semakin gelisah.
Karena itulah perlunya pedoman agama.” huft, jadinya ceramah deh.
“Bukannya kata Allah di Al Qur’an musibah juga bisa menimpa orang beriman ya?” timpalnya
“Benar,” coba saya lanjutkan. “Tapi lebih tepatnya ujian. Musibah atau hukuman untuk perbuatan dosa manusia, sedangkan orang beriman diberi ujian. Orang beriman diuji karena usahanya untuk menegakan agama. Misalnya dia sudah berhasil peroleh penghasilan yang halal. Allah akan menguji, menggoda, dengan tawaran-tawaran penghasilan yang syubhat. Atau dia diuji dengan harta yang pas-pasan, tak kaya. Begitu salah satu ujiannya, bisa juga dalam bentuk lain.
Kalau dia sabar, disitulah barokahnya. Akan muncul rasa-rasa bahagia, sejahtera, meski kelihatan miskin. Semakin dia meningkat keimanannya,semakin besar juga nanti godaan ujiannya. Jadi ada 2 ujian manusia, hukuman karena kesalahannya, dan ujian karena imannya.
Ujiannya orang beriman itu seperti minum kopi. Pahit, tapi masih bisa dinikmati ketika ia sadar manfaat dan hikmahnya. Begitulah berkah. Makanya, slogan kami di sini kan: berbahagia dengan kopi. Itu ada filosofinya dari konsep barokah tadi.”
Pelanggan itu tampak manggut-manggut saja melihat ‘ceramah’ku yang sok ustad, dengan sambil sedikit senyuman dan pandangan penuh makna.Entah dia bingung, tercerahkan, atau terpesona.
“Berarti kalau nikahnya pakai pacaran atau cara gak halal gitu bakal diberi musibah ya selama menjalanan pernikahan?” tanyanya lagi kembali soal pernikahan.
“Gak mesti. Itu semua tergantung Allah. Kita juga tidak bisa menjustifikasi kalau melihat apa yang ditimpakan musibah kepada seseorang pasti karena dosa-dosanya.”
“Lalu?”
“Bisa juga di hukum dalam bentuk lain. Atau kalau Allah berkehendak hukumannya nanti di akhirat bisa saja. Gak harus di dunia. Bisa saja di dunia terus bahagia. Tapi setelah mati nanti, duar.. duar.. Tersiksa di neraka. Seperti janji Allah kepada orang-orang kafir. Ada tuh di Al Qur’an ayatnya.
Tapi biasanya, meski terlihat bahagia, orang yang banyak dosa cendrung hidupnya tak nyaman, selalu seperti ada yang kurang dan selalu ketakutan. Ketakutan yang tak pernah ia mengerti. Seperti ada tekanan jiwa.
Tapi pada intinya begini mba,” akhirnya aku harus mencoba menjelaskan tema yang jarang saya bincangkan ini.
“Soal pernikahan itu tak hanya masalah cinta. Banyak pasangan yang mesra-mesra di awal. Mesra-mesra sebelum nikah. Pakai kata-kata gombalan cinta. Lalu setelah beberapa tahun menikah, bosan, saling tunjukan sifat jeleknya masing-masing, gak bisa menerima kekurangan, bertengkarlah. Ada yang cerai. Atau seperti berita tadi sampai bunuh-bunuhan. Kalau gak sampai cerai, ya selama masa hidupnya isinya bertengkar melulu. Sampai tua gak ada romantisnya. Nikah hanya cari senangnya saja, gak siap dengan sulitnya berumah tangga.”
“Terus modalnya apa?”
“Ya niatnya ibadah. Ibadah kepada Allah. Nikah itu kan perintah agama. Seperti halnya mencari nafkah, bersedekah, berbuat baik. Nikah bukan soal hubungan cinta saja. Cinta itu dibatasi ruang dan waktu. Sifat yang dirasakannya ada batas waktu. Bisa habis. Karena sifatnya yang duniawi.
Beda dengan ketaatan kepada Tuhan yang sifatnya tembus antar ruang dimensi. Metafisik. Melangkahi waktu. Kebahagiaannya di hati. Untuk sesuatu yang spiritual. Memberikan kita ‘makna’ dan ‘hikmah’. Tujuan ibadah itu untuk mencari barokah, pahala, dan ridho Allah dunia akhirat, sehingga bisa terhindar dari nafsu-nafsu dunia yang bisa melahirkan keburukan dan musibah seperti berita tadi.
Banyak juga yang menikah tanpa dimulai dari perasaan cinta, murni hanya ingin menjalankan ibadah, dijodohi tanpa pernah mengenal sebelumnya, tidak dari dorongan nafsu seperti tertarik karena cantik atau tampannya, mereka ini malah jarang ada konflik, bahkan jarang sampai ada bercerai. Kebanyakan kasus yang bercerai adalah orang-orang yang pernah menjalin cinta sebelum akad.
Tapi bukan berarti gak boleh ada cinta sebelum nikah ya. Saya itu kalau kenal dengan teman wanita dan suka dia, langsung saja ajak nikah. Gak perlu pakai pernyataan cinta, ‘kaulah segala-galanya… bla..bla..’, pakai jalan bareng, berduaan, atau pacaran. Kalau ada rasa cinta, simpan dalam pikiran dulu, dari hati yang terdalam. Kalau udah halal silakan ucap gombalan cinta-cintaan tadi itu sepuasnya. Kalau ditolak, ya udah.”
“Ditolak sedih?” pertanyaannya itu loh, tiba-tiba. Gak enak dengarnya.
“Mau tau banget, atau mau tau sekali?” balas saja dengan candaan.
“Kalau pakai pacaran terus menikah niatnya ibadah kepada Allah bagaimana mas?” entah ini pertanyaan gak terima jawaban tadi, atau memancing saya agar terus berceramah, atau memang ngeyel.
“Salah satu tujuan ibadah karena ketaatan kepada Allah dan mengejar kebarokahan hidup. Makanya doanya kepada orang yang menikah adalah barakallah…. bla..bla.. Mengharap barokah bukan hanya dari doa-doa yang disampaikan, tapi dari kitanya bagaimana memulai sebuah proses dari perbuatan yang diridhoi. Barokah mesti di awali dari ketakwaan, yang artinya menjalani perintahnya dan menjauhi larangannya. Kalau proses kita awali dari yang tak barokah, seperti yang saya bilang tadi, bisa kemungkinan proses selanjutnya juga tidak menjadi barokah.”
Agak diam sejenak. Tapi saya masih ingin melanjutkan, “Untuk mencari jalan yang barokah sudah ada tuntunannya. Lalu bagaimana supaya tau tuntunannya, maka perlu ilmu. Karena itu mempelajari agama itu begitu penting. Agar tahu mana yang salah dan mana yang benar, lalu diamalkan. Jika sudah diamalkan baru nanti akan kita rasakan hasilnya.”
“Apa bisa menjamin orang yang nikahnya seperti yang mas bilang tadi bakal bahagia? Atau barokah tadi?”
“Bisa belum tentu juga. Yang beri jaminan Allah. Kita serahkan saja masa depan kepada Allah, yang penting niat kita murni ingin menjalankan ibadah karena Allah. Kalau kita pasrahkan, insya Allah, jaminan aman masa depan dijaga dari musibah atau hukuman dunia dari Allah. Itu sudah janji Allah.
Seperti yang dibilang sebelumnya, ketakwaan seorang muslim pun juga bakal diuji Allah. Bisa saja orang yang nikahnya murni untuk ibadah, bisa juga mendapat musibah, ketika di perjalanan pernikahan nanti tak sanggup melewati ujian ketakwaan yang diberikan Allah.”
Gadis itu nampaknya hanya manggut-manggut. Entah dia menerima penjelasan saya apa tidak. Setidaknya saya hanya berusaha menjelaskan apa yang menjadi kewajiban saya untuk disampaikan.
“Jadi begitu ya penjelasannya. Maaf, kalau saya jadi banyak bicara. Sebenarnya saya jarang ngomong tema beginian. Kok tiba-tiba jadi seperti ini. Sepertinya saya habis kesurupan ustad. Maklum, belum nikah, jadi jawabannya mungkin banyak sok tahunya. Saran saya ikuti pengajian saja biar nambah wawasan.”
“Gak apa-apa kok mas.” responnya.
Hening sebentar tiba-tiba keluar pertanyaan gak enak, “Terus, kenapa mas belum nikah?”
“Mungkin karena saya lagi diuji.” jawab saja sekenanya.
“Emang pernah dosa apa?” rupanya dia mulai penasaran.
“Mungkin karena sering nolak para akhwat yang mau sama saya.” hahaha… jawab saja sekenannya lagi.
“Kenapa menolak?” hah, orang ini banyak tanya.
“Karena hatiku masih ada di tempat yg lain..” jawaban sederhana sambil berharap agar gadis itu gak bertanya: ‘kalau saya mau sama mas, ditolak juga gak mas??’ wkwkwk, cuma dalam pikiran.
“Siapa itu mas?” Nah dia mulai penasaran .
“Ada deh. Udah ah, ganti topik.”
The End
Nb: cerita yang ditulis sekedar berbagi dan mengingatkan diri.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan dalilKetika saya menjelaskan dialog di atas tadi bukan hanya berdasar dari persepsi sendiri tapi memang ada rujukan dalil dari yang pernah saya pelajari pada agama ini.
Kita memang harus membiasakan ketika menjelaskan suatu ajaran agama ada rujukan dalil hukumnya. Tapi karena saya tak punya hafalan yang kuat pada ayat Al Qur’an dan hadist, jadi penjelasannya kepada si penanya tersebut hanya narasi seperti itu. Harap maklumkan.
Berikut dalil-dalilnya :
“
Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” QS. An-Nisa;: 79
“
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” QS. As-Syuro:QS. As-Syuro: 30
“
Ketika Allah menginginkan hamba-Nya suatu kebaikan, maka disegerakan hukumannya di dunia. Kalau Allah menginginkan hamba-Nya suatu kejelekan, maka dosanya ditahan sampai dibalas nanti di hari kiamat.” HR. Tirmizi
“
Sesungguhnya seorang hamba ketika didahului kedudukan di sisi Allah, dimana amalannya tidak sampai (kepadaNya), maka Allah akan mengujinya di badan atau harta atau anaknya.” HR. Abu Dawud
“
Sesungguhnya agungnya pahala disertai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang redo maka Dia akan redo dan siapa yang murka, maka Dia juga akan murka.” HR. Abu Dawud
“
Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori